Rabu, Juli 25, 2018

Corporate Culture, Zappos & Neuroscience


Dengan semakin berkembangnya ilmu Neuroscience, tentunya memiliki dampak Multi Disipliner yang signifikan, diantaranya di Bidang Manajemen, Pengembangan Organisasi, Kepemimpinan, dan Budaya Perusahaan. Di Bidang Pengembangan Organisasi secara spesifik muncul model organisasi yang tidak lagi memiliki struktur yang silo dan chain of command yang dalam, namun memilih model organisasi yang bersifat collaborative & memiliki flow yang mengalir sebagaimana suatu network atau jejaring. Mereka akan bekerja secara otonom sesuai dengan informasi yang didapat dari jejaring yang mereka miliki. Dari Sisi Manajemen, Performance Management System (PMS) dinilai tidak lagi relevan diterapkan dalam organisasi. PMS ini ibarat “dinosaurus” yang memiliki eksternalitas negatif yang memantik munculnya “racun” atau toxic, berupa tekanan/ stress pada kebanyakan pegawai, atasan yang semena-mena membebankan target kepada bawahan, dan ekosistem yang menyebabkan pegawai yang loyal lagi berprestasi akhirnya terlempar keluar perusahaan. Perkembangan neuroscience dari Sisi Kepemimpinan adalah bagaimana pimpinan mampu menyelami cara atau pola berfikir bawahan, sehingga dengan pola asuh berbasis “Neuroscience”, pimpinan ini akhirnya me-leverage potensi bawahannya sehingga mampu berfikir analitis dan bekerja dengan efisien atau sesuai dengan yang diharapkan atasan.

Salah satu buku yang menarik ”Delivering Happiness: a path to profits, passion and purpose” menceritakan bagaimana Zappos, sebuah perusahaan menjual sepatu berbasis daring, berhasil mentransformasi (organisasi) perusahaan yang semula menempatkan Customer Service dalam box tersendiri pada struktur organisasi menjadi bagian inti atau “centerpiece” Zappos. Saat Zappos didirikan, biaya beriklan perusahaan daring ataupun non daring, khusus yang baru berdiri sangatlah mahal. Manajemen Zappos menyadari bahwa hal ini sangat sulit apabila Zappos tetap memilih bersaing dengan cara yang sama dengan perusahaan lainnya. Manajemen Zappos kemudian menerapkan nilai-nilai budaya perusahaan diantaranya:

1. Deliver wow through service
2. Embrace and drive change
3. Create fun and a little weirdness
4. Be adventurous, creative and open minded
5. Pursue growth and learning
6. Build open and honest relationships with communication
7. Build a positive team and family spirit
8. Do more with less
9. Be passionate and determined
10. Be humble

Manajemen Zappos memiliki komitmen yang tinggi di dalam menerapkan 10 budaya kerja Zappos. Sehingga secara end to end, Zappos merekrut pegawai yang benar-benar memiliki nilai-nilai yang dimiliki Zappos di kantor dan di luar kantor. Dan bahkan pegawai yang tidak jadi bergabung di akhir training orientasi Zappos, yang memiliki durasi 3 minggu, diberikan ganti rugi uang USD 2,000. Pegawai level manapun (level manager dan bahkan senior) juga akan diberikan training yang sama dan mendapatkan kesempatan untuk duduk di Call Center melayani pelanggan. Ini adalah sedikit contoh bagaimana komitmen Zappos dalam menjadikan Call Center menjadi bagian yang crusial di dalam operasional bisnis sehari-hari.

Lebih lanjut, Zappos kemudian mengembangkan strategi unik, dimana setiap orang menjadi Brand Ambassador dan Call Center bagi Zappos untuk menciptakan Wow Experience tadi. Pegawai Call Center tidak diberikan target penjualan atau target produktifitas (lama menelpon/ jumlah pelanggan yang membeli produk Zappos per pegawai), mereka bahkan tidak diberikan script formal oleh Perusahaan, namun diberikan keleluasaan bagaimana menyapa dan berbicara dengan para pelanggannya. Hal ini karena Zappos ingin memastikan mereka menampilkan pribadi mereka yang sesungguhnya pada saat berkomunikasi.

Di sisi lain, menyikapi operasional Zappos yang 24/7, dimana pemesanan sering sekali meningkat secara drastis di tengah malam. Maka untuk menyikapi kondisi ini, tidak jauh dari UPS (perusahaan jasa pengiriman barang)--gudang Zappos menjadi lebih ramai sebelum pergantian hari. Akibatnya, barang yang baru dipesan pelanggan pun sampai di depan rumah kurun waktu 8 jam. Tidak berhenti sampai di situ, Zappos memberikan batasan waktu yang sangat longgar bagi pelanggan untuk dapat mengembalikan barang bilamana tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Strategi unik Zappos, ditinjau dari sisi Neuroscience sesungguhnya tidak jauh berbeda dari fungsi otak manusia. System nilai yang ditetapkan Zappos dijalankan secara end to end, dimana manusia suka diberikan pilihan, kewenangan/ otonomi, yang berdampak pada mengalirnya hormone endorphin yang menimbulkan rasa senang, rasa puas dengan apa yang dikerjakan pegawai--dan begitupun dengan pelanggan. Pelanggan dengan senang hati mengembalikan barang yang telah dipesan karena menemukan barang yang lebih bagus di katalog on-line Zappos, di sisi lain batas waktu pengembalian barang 365 hari (term & condition yang non konvensional), sehingga tidak menimbulkan bonus stress (hormone cortisol) yang biasa terjadi pada pegawai Call Center. Tentu saja dampak finansial dalam jangka pendek akan merugikan Zappos, namun Zappos melihat hal ini sebagai strategi yang akan memiliki dampak finansial positif dalam jangka panjang.

Zappos menyadari perusahaannya harus “berbeda” dengan perusahaan lain, dan peluang berbicara langsung dengan pelangan tentunya sangat kecil dibandingkan dengan ribuan “click” pemesanan per hari yang dilakukan secara daring/ on line. Sehingga pelanggan menelpon Zappos dilayani apapun masalahnya-meskipun tidak berkaitan dengan sepatu/ barang yang dijual Zappos. Karena mereka percaya Wow Experience akan memberikan kesan yang baik dan akan mereka sampaikan dari mulut ke mulut (word of mouth) kepada calon pelanggan lainnya -- yang tentunya menjadi sarana beriklan gratis bagi Zappos. Sampai hari ini pun Zappos tidak pernah mengiklankan diri secara besar-besaran.


Tidak adanya target penjualan bagi pegawai tentu saja tidak menyebabkan pegawai berleha-leha dan bertindak serampangan. Mereka bekerja dengan keras memastikan bagaimana bisnis Zappos terus berkembang. Mereka dilatih untuk mengambil risiko, diperkenankan melakukan kesalahan (dan tidak mengulanginya lagi ke depan), senantiasa belajar dan memberikan solusi. Seluruh pegawai menjalani tantangan dan situasi sehari-hari dengan pikiran terbuka. Sebagai contoh, tim HR menjalankan inovasi baru dalam proses recruitment. Alih-alih melakukan wawancara kerja tatap muka seperti biasa, mereka menempatkan calon pegawai bersama 5-6 orang pegawai Zappos. Beberapa calon yang direkomendasikan pegawai Zappos masuk ke tahapan seleksi Wawancara. Hal ini dikenal dengan metode speed dating. Tim ini terus melakukan perbaikan dan penyempurnaan agar proses rekrutmen menimbulkan Wow Experience bagi calon pegawai Zappos. Pada sesi presentasi rekrutment/ job fair yang dilakukan Zappos tidak jarang ada stand up comedy, makanan/ minuman, dan bahkan hadiah door prize. Dan proses perekrutan pun disisipkan elemen kejutan seperti “timer dapur” sehingga waktu Wawancara menjadi lebih terstruktur (saat bel berdering) dan kandidat masuk ke tahap seleksi selanjutnya. Sehingga Manajemen di sini terlihat mengupayakan proses di segala lini merekfleksikan budaya Zappos sesungguhnya.

Belajar dari Zappos, budaya kerja setiap perusahaan tentu berbeda. Namun perbedaan tersebut dapat dicapai dengan cara yang memiliki effort / usaha yang tinggi atau bahkan tidak sama sekali (effortless). Dimana pada saat budaya kerja menjadi effortless itu telah mencapai titik dimana budaya telah berhasil diinternalisasikan dalam individu, tim kerja, dan perusahaan secara jamak.

Bagaimana dengan Perusahaan Anda?

Jumat, Desember 29, 2017

Memahami Parenting berbasis Neuroscience & Talent Management


Anak adalah anugrah dan sekaligus amanah yang tak ternilai bagi keluarga, dimana sedari kecil anak-anak oleh orang tua diberikan kasih sayang, perhatian, fasilitas, pendidikan-sesuai dengan milestones sang anak. Kelimpahan perhatian dan kasih sayang kepada sang anak semata-mata agar sang anak berhasil dan sukses menyongsong masa depan.

Neuroscience telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi perkembangan ilmu parenting, bahwa otak manusia sebagai karunia tak ternilai Yang Kuasa. Maka otak haruslah dilatih, distimulasi, diisi dan dijaga dengan hal-hal yang bermanfaat. Ketika lahir, masing-masing komponen otak manusia belum dalam keadaan lengkap dan berfungsi dengan sempurna. Anak yang masih bayi, balita, anak pra-sekolah, dan anak SD-SMP-SMA memiliki kelengkapan komponen otak dan kematangan komponen otak yang berbeda-beda.

Sehingga dalam ilmu parenting, wajib hukumnya bagi para orang tua untuk memahami perkembangan otak anak, dan di sinilah peran orangtua mengisi waktu dengan kegiatan-kegiatan bersama mereka dan membentuk mereka menjadi manusia yang tangguh, mandiri dan berakhlak mulia. Bagaimana mendidik anak dari sisi neuroscience sesuai dengan perkembangan kelengkapan dan kematangan komponen komponen otak masing-masing:


  • Bayi yang baru lahir tidak bisa berbicara untuk mengatakan ingin minum, merasa panas/ basah, atau ingin digendong. Sehingga orang tua memberikan perhatian secara ekstra kepada sang anak. Kebersamaan atau bonding yang kokoh dengan orang tua membentuk Amigdala anak yang sehat. Dimana orang tua selalu melakukan kontak dan hadir secara emosi bersama sang anak dengan memberikan rasa aman, nyaman, dan kasih sayang. Ketidakhadiran emosi orangtua, dimana orang tua abai dalam memberikan perhatian kasih sayang, dan kebutuhan dasar sang anak. Ataupun lalai dalam memberikan lingkungan yang nyaman dan bersahabat, seperti: terus-menerus bertengkar dengan pasangan di hadapan sang anak, atau sibuk sehingga menelantarkan sang anak. Maka dalam jangka 10-15 tahun ke depan, anak akan mengalami “gangguan” dalam pengendalian dan memaknai emosi.

Orang tua selanjutnya menstimulasi pancaindra sang anak (indra pendengaran, indra penglihatan, indra penciuman, dan indra perasa, indra peraba), sehingga sang anak belajar langsung hingga mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan di sekitar. Melibatkan anak untuk merasakan perubahan lingkungan, seperti: makanan alami vs makanan olahan, merasakan panas/ keringat vs kesejukan, keramaian vs sepi, gelap vs terang, atau lebih advance lagi suasana desa vs kota, keterbatasan vs keberlimpahan, dan sebagainya. Semakin fleksibel lingkungan yang dihadapi sang anak, maka semakin tangguh sang anak ke depan.


  • Anak balita membutuhkan stimulasi lebih, seperti mengajari dan mengajak anak memahami bahasa dan berbicara dengan bahasa rasa bahasa yang baik dan benar (Area Broca & Wernicke). Pastikan anak dapat berbicara dengan bahasa dan pengucapan yang dapat dipahami orang lain. Orang tua diharapkan tidak ikut-ikut meniru bahasa yang diutarakan sang anak (cadel & mengikuti bahasa sang anak), atau bahkan tidak berbicara sama sekali karena orangtua pulang sudah larut malam karena lembur/ kantor jauh. Anak pun akan sangat kesulitan belajar bahasa dan mengucapkan dengan baik dan benar. Anak balita pun mulai dibentuk melalui rutinitas dan kebiasaan-kebiasaan positif (Basal Ganglia). Seperti: menggosok gigi setelah makan, mencuci kaki dan tangan sebelum tidur, berdoa, puasa, shalat pada waktunya, dan sebagainya. Kebiasaan–kebiasaan baik yang dikenalkan dan ditanamkan orang tua akan melekat pada sang anak hingga tua.



  • Bagi anak pra-sekolah, stimulasi otak mulai diintensifkan dengan permainan mendidik yang rasional dan menstimulasi kognitif anak, seperti: berhitung, membaca, memilih, menilai (Hippocampus). Anak dibacakan cerita untuk dilatih memaknai cerita sederhana. Dan akhirnya mulai melatih kemandirian sang anak dengan memberikan kewenangan yang terbatas-sesuai dengan perkembangan sang anak (Pre Frontal Cortex/ PFC). Sehingga dengan PFC sang anak diharapkan secara mandiri mampu melakukan pengambilan keputusan; pemaknaan nilai-nilai; merencanakan, pengambilan keputusan; berkonsentrasi; pengendalian diri/ ketekunan; berempati; (sabar) dalam menunda kenikmatan; serta menyelaraskan pikiran dan tindakan dengan tujuan. Dan akhirnya memastikan sang anak mampu mengenali dan mengungkapkan jenis emosi (senang, sedih, marah), hingga mengendalikan diri dari emosi internal yang bersifat negatif (marah, sedih, takut) dan emosi dari lingkungan eksternal (teman/ guru/ orang terdekat) yang menekan, seperti: rasa stress dan depresi atau rasa senang yang berlebihan (Hypothalamus).



  • Untuk anak berusia di atas 7 tahun hingga usia 21 tahun adalah bagaimana melatih PFC. Orang tua membangun komunikasi yang interaktif dengan menjadi content manager di rumah. Orangtua diharapkan mampu memilah/ memilih/ membatasi acara TV, fasilitas / wifi/ internet serta penggunaan smart phone bagi PFC yang sehat. Orangtua mengenalkan dan mengajarkan anak dalam mengapresiasi buku-buku/ film/ musik berkualitas; mengenalkan ilmu sejarah, filsafat, ekonomi dan ilmu berguna lainnya; dan mengenalkan seni berdebat/ argumentasi sederhana. Sehingga anak terbiasa melakukan cross check atas informasi hingga cross reference hingga mendemonstrasikan ilmu yang telah mereka pelajari. 




Talent management yang programnya telah Anda dapatkan di Perusahaan tidak kalah penting berkontribusi pada ilmu parenting, dimana anak diidentifikasi kemampuan dan minatnya. Seiring bertambahnya usia mereka akan terus dikembangkan sesuai dengan potensinya. Oleh sekolah, mereka diberikan kurikulum baku sehingga mereka bisa berkembang dan mencapai potensi optimal.
Demikian juga dengan orang tua, idealnya mereka menyiapkan strategi dan pola pengasuhan dilengkapi kurikulum yang sederhana, mulai dari jadwal, check list, target yang harus dicapai sang anak, bekal ilmu pengetahuan yang diturunkan langsung dari orang tua ke anak, hingga review saat tahun ajaran berakhir-selain raport. Ritual percakapan harian (dalam bahasa korporasi: Engaging Conversation) tidak kalah penting: tak habis-habisnya sang orangtua (ibu) bertanya: apa yang dipelajari sang anak hari ini, bagaimana kegiatan dengan teman-teman, apa tugas/ PR (Pekerjaan Rumah) hari ini, berapa nilai ulangan, dan sederet pertanyaan lain. Dan yang tak kalah penting menyediakan tenaga, waktu, dan pikiran untuk dicurhati sang anak (dalam bahasa korporasi: Coaching & Mentoring). Sang ayah pun mengenalkan ilmu praktis (mulai dari olah raga, IT & pemrograman aplikasi, hingga pekerjaan/ perbaikan ringan) yang bisa dilakukan anak-anak (dalam bahasa korporasi: on the job training).


Menghabiskan hari libur tidak kalah penting, beberapa orang tua mengirimkan anak-anak untuk berlibur di rumah kakek/ nenek, atau sekedar beristirahat di rumah dan mempedalam minat/ hobby, atau bagi orang tua yang mapan secara ekonomi mampu mengirimkan mereka kursus/ belajar di sekolah pada negara tertentu, ataupun magang di perusahaan orang tua/ perusahaan kolega mereka. Mereka diberikan tantangan lingkungan dan persoalan baru dengan harapan mereka menjadi lebih sukses dibandingkan dengan orang tua mereka (dalam bahasa korporasi: Non Monetary Rewards).


Ibarat investasi yang mendukung program talent management perusahaan, orang tua menyerahkan pendidikan dan pelatihan anak sepenuhnya pada sekolah dengan harga yang tidak murah. Namun seringkali effort maksimal tersebut tidak dibarengi oleh peran orang tua untuk turut serta mewarnai pola pengasuhan sang anak sehari-hari. Anak terus-menerus dijejali dengan kesibukan ekstrakulikuler-sesuai dengan bidang yang mereka minati, ritual harian untuk menghabiskan sisa waktu after school mereka, dan interaksi dengan orang tua dan lingkungan di akhir hari-tanpa evaluasi apakah kesibukan tersebut memberikan makna atau bahkan membentuk karakter mereka. Seringkali setelah seluruh check list tugas dan kelakuan baik mereka di atas kertas sudah terpenuhi, maka mereka berhak mendapatkan reward/ fasilitas/ benda-benda yang mereka idam-idamkan selama ini. Begitu seterusnya, sehingga seiring bertambahnya usia mereka, tanpa disadari mereka tumbuh seperti “robot” yang minus karakter, minus kebijakan dan kebajikan.


Segala sesuatu yang terbaik telah diberikan oleh orangtua, namun hasil yang diharapkan sangat jauh dari yang di harapkan. Mereka menjadi anak yang kurang berbakti, tidak sopan kepada orang yang lebih tua, berkata-kata kasar, menyusahkan dan sangat tergantung pada fasilitas orangtua (dominasi limbic system). Ingatlah pada kegunaan PFC dalam ilmu neuroscience: anak memiliki PFC, kapasitas yang tak terbatas untuk berfikir. Peran orang tua yang sangat monoton bahkan cenderung berjarak/ menjauh-menyebabkan mereka tumbuh menjadi pribadi yang sulit dimengerti.


Perjalanan hidup tidak ada yang sempurna. Kebanyakan anak-anak telah melalui banyak hal tanpa adanya pengawasan dan bimbingan yang memadai. Tak jauh dari rumah Anda, ada keluarga yang memiliki tontonan TV kabel yang tak disensor & tak layak ditonton sang anak, atau acara TV reguler yang tidak memenuhi standar untuk ditonton anak-anak. Fasilitas wifi yang tak berbatas memperparah keadaan, dimana anak dengan bebas memilih tontonan, berita dan hiburan yang disukai. Di samping rumah Anda, ada keluarga yang sangat memanjakan anaknya tanpa pernah mengajari mereka konsekuensi (baca: punishment) atas tindakan mereka.


Apakah hal ini merusak PFC? Anda sangat tahu apa jawabannya berikut akibat yang akan menimpa mereka di kemudian hari.


Ada apa yang salah di sini? Mengandalkan parenting pada sistem pendidikan, teknologi, televisi dan entertainment yang serba instan. Informasi datang hanya dari satu arah, mempengaruhi limbic system, yang tidak disadari sang anak. Hasilnya, kemampuan PFC otak untuk melakukan fungsi-fungsi pemaknaan nilai-nilai; berkonsentrasi; menyelaraskan pikiran dan tindakan dengan tujuan; pengendalian diri/ ketekunan; berempati; (sabar) dalam menunda kenikmatan; serta pengambilan keputusan dan perencanaan menjadi kurang terasah.


Dari sisi neuroscience, pengalaman emosi apapun yang dialami sang anak melibatkan indra pendengaran, indra penglihatan, indra penciuman, dan indra perasa, indra peraba akan disimpan otak berupa “data”, ia adalah “makanan otak”. Jangan biarkan piranti yang merupakan karunia yang membedakan manusia dengan binatang ini diisi oleh sampah, spam, tontonan dan content yang tidak berkualitas dan tidak memberikan nilai tambah. Saat ini ada banyak sekali bahan-bahan ringan sarat hiburan di genggaman Anda dan anak Anda, dan terkadang menjadi bahan tertawaan yang lucu, tapi percayalah ke depan hal/ kebiasaan saat ini dianggap kecil dan tak terlihat ini akan menjadi sumber kekecewaan dan penyesalan di kemudian hari.


Ibarat mengabaikan dan melanggar kaidah dan hukum alam: proses mematangkan dan mencerdaskan anak melalui pola pengasuhan yang berbasis neuroscience dan talent management-yang seharusnya membutuhkan waktu tahunan-telah dicederai oleh upaya-upaya “mem-bypass proses” agar mereka secara instant menjadi cerdas, namun miskin satu hal: kebijakan dan kebajikan. Melatih PFC yang sehat dibutuhkan kesadaran atau mindfulness para orang tua dalam memilah content dan mengajarkan pemaknaan kepada mereka. Baca dan pahamilah situasi dan kondisi emosi mereka.


Ajaklah mereka berfikir menggunaan PFC, mengajak berdialog sesuai dengan nilai-nilai keluarga dan agama Anda, dan bimbinglah mereka dengan menjadi role model yang baik bagi mereka. Bagaimana dengan keluarga Anda?



Sumber:
Seminar NeuroParenting, oleh Dr. Amir Zuhdi
Buku “Rahasia Anak Super: Personal Conditioning” oleh Shifu Yonathan Purnomo
Buku dan jurnal Talent Management

Selasa, Agustus 15, 2017

Discipline Corner: Menghidupkan Ritual Budaya Kerja melalui Kekuatan Morning Briefing

Di pagi buta, terdengar pembacaan Visi, Misi, dan nilai-nilai Korporasi dengan lantang berkumandang untuk menyemangati peserta morning briefing. Tak lama kemudian masing-masing perwakilan unit pun menyampaikan update mingguan...

Namun pada prosesnya, ritual ini pun dapat berubah atau bahkan hilang seiring dengan pergantian pimpinan. Beberapa unit kerja yang belum memiliki kebiasaan ini pun berupaya keras dalam menyatukan anggota organisasi untuk berkumpul.


Kegiatan/ ritual mengawali pagi merupakan faktor yang menentukan kinerja seseorang, Unit Kerja dan bahkan masa depan suatu organisasi. Kegiatan morning briefing diibaratkan sebagai jembatan untuk membina keakraban, kekompakan, dan memupuk budaya kedisiplinan. Bahkan sesi ini dapat dijadikan sebagai budaya berbagi pengetahuan.

Sebetulnya, untuk memulai kedisiplinan morning briefing sebetulnya memerlukan waktu dan keberanian. Misalnya inisiatif suatu Unit Kerja melakukan acara “do'a pagi” untuk memulai hari.Setiap hari, pegawai secara bergiliran memimpin do’a. Pegawai kemudian diminta mendoakan karyawan maupun sanak saudara karyawan yang sakit atau tertimpa musibah.

Tak membutuhkan waktu lama, doa bersama ini kemudian menjadi suatu ritual yang menjadi kekhasan unit kerja ini. Di beberapa kesempatan berikutnya, selesai berdo'a pimpinan mulai memberikan arahan dan masukan kepada pegawai untuk perbaikan diri sendiri dan untuk perbaikan bersama. Pegawai lambat laun mulai memiliki keberanian mengutarakan permasalahan yang dialami di lapangan. Pegawai lain, tanpa diminta, mencoba memecahkan masalah dan memberikan masukan kepada pegawai yang tertimpa masalah tsb.
Efek berantai ini kemudian semakin berkembang. Masing-masing pegawai tidak ragu memberikan bantuan, sehingga soliditas tim tanpa disadari mulai terbentuk. 

Peran Pimpinan dalam Morning Briefing
Pimpinan adalah figur sentral yang berperan memberikan arahan guna memastikan penyelarasan, memberikan contoh, dan sharing pengalaman yang terjadi di lapangan. Titik fokus Pimpinan mulai berubah, dari bentuk morning briefing yang informal, menjadi sesuatu yang lebih formal. Pimpinan mulai mengevaluasi kinerja pegawai, begitu komitmen pencapaian jangka pendek diikrarkan pegawai. Seiring dengan proses evaluasi, pimpinan tidak sekedar membandingkan kinerja sebelumnya dengan kinerja berjalan namun juga mendorong pegawai untuk dapat mengusulkan strategi atau inisiatif agar komitmen pencapaian dapat tercapai.

Disinilah cikal bakal terbentuknya Disiplin Eksekusi. Dimana secara mingguan bahkan harian, pegawai bersama-sama atasan baik secara langsung atau tidak langsung berpacu untuk menjadi lebih baik dibanding hari ini.

Hari demi hari, pimpinan tak henti memberikan arahan serta motivasi kepada pegawai. Di sisi lain pimpinan tidak ragu menjadi people’s manager yang efektif dan sekaligus coach yang handal untuk membantu dan bahkan mengajarkan hal-hal baru yang belum pernah diperoleh ataupun terpikirkan oleh pegawai. Perlahan tapi pasti, ritual ini telah berevolusi dari kegiatan sesederhana "Doa Pagi“ dan bertransformasi menuju sesi yang menantang adrenalin pegawai: dimana kinerja pegawai secara transparan dibahas dan dievaluasi dalam satu forum.

Bagaimana agar ritual ini menjadi hal yang ditunggu-tunggu?
Kuncinya adalah konsistensi dan cara mengemas ritual ini menjadi hal yang menyenangkan. Keseruan sesi morning briefing dapat ditambah dengan memberikan reward menarik berupa piala bergilir, voucher, atau hadiah menarik lain mengapresiasi pegawai seperti pegawai “terdisiplin”, “paling rapi”, “paling berkontribusi”. Dimana hal ini diimbangi pemberian punishment/ hukuman yang mendidik kepada pegawai yang melanggar aturan yang telah disepakati bersama.

Laiknya hidup berkeluarga, seorang Ayah/ Ibu tidak akan ragu menanyakan bagaimana kabar dan perkembangan anak-anak mereka: kejadian atau pengalaman baik apa yang mereka alami hari itu, dan hal apa yang harus dilakukan agar pengalaman yang kurang baik tidak terulang kembali. Tidak ada tujuan lain dari jajaran pimpinan selain memastikan anak-anak buahnya menjadi lebih baik dari hari sebelumnya.

Penulis telah mencatat dan menyaksikan, betapa banyak organisasi yang berhasil bertransformasi berbekal satu langkah awal kegiatan yang dinamakan “Morning Briefing”, “One Information A Day”, “Forum Sapa Pagi”, dan berbagai varian/ nama dari ritual pagi ini. Belum ada kata terlambat untuk memulai Disiplin Morning Briefing yang tengah dicanangkan di Perusahaan yang kita cintai ini. Masih banyak ruang untuk  meningkatkan konsistensi atau bahkan intensitas dari ritual ini.
Lalu, bagaimana ritual budaya kerja di unit kerja Anda?  



Discipline Corner: Filosofi Seragam

Mengapa mengenakan seragam? Pada discipline corner kali membahas apa saja manfaat seragam dan “trend kekinian” para tokoh fashion ataupun pebisnis dengan signature style mereka miliki.

Adalah Matilda Kahl, seorang Art Director ternama, mengenakan pakaian yang sama selama 3 tahun berturut-turut. Perilaku “di luar kebiasaan” pekerja fashion ini menimbulkan tanda tanya rekan kerjanya. Meskipun ia diberikan kebebasan dan anggaran untuk mengenakan pakaian trendy ke kantor, namun ia memilih berseragam. Kejadian apa yang memicu perilaku unik Matilda ini?

Hal ini bermula ketika suatu pagi ia harus menghadiri rapat penting bersama klien penting. Pagi itu ia berjibaku mencoba segala macam pakaian terbaik yang merepresentasikan perusahaannya. Ia kemudian berhasil memutuskan pakaian untuk dikenakan pagi itu. Namun Matilda merasa “rutinitas pagi” ini tidak hanya menjadi tekanan tersendiri. Sering ia memikirkan apakah baju yang dikenakan terlalu pendek, apakah terlalu formal, ataukah terlalu santai. Dan berpikir kritis mengapa rekan kerja pria terlihat “santai” dengan pakaian yang mereka kenakan. Rutinitas pagi yang menyiksa matilda inipun dinilai mulai mengalihkan fokus utama pekerjaan yang sebenarnya.

New Yorker tangguh ini menemukan titik balik dengan menemukan kebiasaan baru: mengubah cara berpakaian, memulai menggunakan seragam yang terdiri dari celana panjang hitam, baju berwarna putih, dan jaket kulit (bila cuaca tidak bersahabat). Pada saat Matilda mulai menjalankan kebiasaan mengenakan “seragam” nya, berbagai pertanyaan dan cemoohan dari rekan kerja, atasan hingga bawahan. Matilda bahkan sempat disangka “kalah taruhan”, mengikuti suatu aliran, bahkan dinilai pelit “berinvestasi” baju kerja.

Namun Matilda menepis pertanyaan terkait penampilan barunya dengan jawaban jitu: “Saya ingin dinilai oleh pekerjaan saya, bukan yang lain”.  Hari demi hari, perubahan revolusioner yang dirasakan oleh Matilda berdampak pada kurangnya waktu yang terbuang  untuk menentukan pakaian yang harus dipakai.  Matilda kini memiliki lebih banyak waktu dan energi dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.

Solusi yang sederhana namun efektif: Matilda kini cukup membeli atasan dan bawahan hitam/ putih dalam jumlah besar. Ia menemukan kedamaian dalam bentuk 15 baju atasan sutra putih yang sama dan beberapa pasang celana hitam. Dan sebagai pelengkap, ia pun mengenakan pita yang terbuat dari kulit pada kerah baju. ‘Saya selalu berfikir warna hitam dan putih merupakan warna yang stylish, dan merupakan pilihan warna yang mudah,‘ Matilda pun mengakui ia memerlukan waktu untuk memilih desain baju pilihannya.

Dengan penampilan yang sama, Matilda telah mengikuti tokoh-tokoh ternama dan berpengaruh yang mengenakan “seragam” untuk bekerja, diantaranya: mendiang  Steve Jobs, Mark Zuckerberg – memiliki 20 kaus abu-abu yang sama untuk dikenakan ke kantor. Atau perancang senior yang juga menjadi role model desainer muda lainnya seperti: Karl Lagerfeld, Carolina Herrera, Jean Paul Gaultier, Vera Wang, Michael Kors, Marc Jacob, dan masih banyak lagi. 

Meskipun demikian, keingintahuan klien pun tetap mengemuka… mengapa seorang Matilda tidak dapat memilih pakaiannya sehari sebelumnya? “Menurut saya hal itu hanya akan memindahkan masalah ke hari yang lain, bukan cara memecahkan masalah” Pungkasnya. "Hal ini hanya akan menyebabkan saya terlambat beristirahat, bahkan kurang tidur. Hal ini bahkan mengurangi tekanan untuk mengekspresikan kreatifitas melalui pakaian yang diatasi dengan seragam".

Filosofi berseragam, menurut Matilda tidak hanya menghemat waktu, membantu ia menghemat uang, menghilangkan “sumber stress” secara total, dan bahkan memberikan kontrol lebih terhadap segala sesuatunya.

Kilas balik tiga tahun Matilda Kahl dengan pakaian yang sama, sepertinya ia tidak akan pernah berhenti. "Saya masih merasa hal ini adalah yang terbaik dan saya tidak memiliki alasan untuk berhenti. Namun jika saya harus terbangun suatu hari dan merasa telah membuang waktu memilih pakaian setiap pagi. Saya tidak memiliki masalah untuk berhenti. Seragam ada untuk saya, namun saya tidak untuk diseragamkan".
Matilda sempat mengalami masalah ketika harus me-restock baju yang ia miliki. Sehingga ia harus kembali membeli baju dengan model serupa. Setelah berupaya mencari, barulah ia menemukan baju yang sama di sebuah toko.

Akhirnya upaya Matilda tidaklah sia-sia selama lebih dari tiga tahun ia mengenakan pakaian yang sama dan seragam ini pun tidak hanya trade mark bagi Matilda, namun juga dirayakan rekan kantornya sebagai Matilda Kahl Day (mengenakan seragam hitam putih).

Semoga, dengan kisah inspiratif ini semakin mendorong kedisiplinan insan Professional dalam konsistensi berseragam.

(Disarikan dari berbagai sumber). 


Discipline Corner: 5 R yang mencetuskan perubahan

Sebuah buku menarik yang mengenai Seni Bebersih (5R), berakar dari budaya Jepang, diintepretasikan kembali dalam tips yang sederhana oleh Marie Kondo, seorang konsultan 5 R terkenal.
Melalui buku nya “The Life Changing Magic Of Tidying Up”, buku ini menarik perhatian untuk dibahas pada Discipline Corner kali ini dan mudah-mudahan menjadi disiplin baru dalam kehidupan sehari-hari Professionals.

Marie sedari kecil memiliki passion 5 R, dan ia sangat terobsesi dengan kerapihan mulai dari rumah hingga kantor di tempat ia bekerja. Ia mengakui perilaku bebersih ini berawal dari pengalaman yang tak terlupakan di saat ia akan menghadapi ujian SMP. Ujian merupakan momok kebanyakan siswa di Jepang, dan ia merasa tak tenang menghadapi ujian tersebut. Marie kemudian memeriksa kamarnya yang kecil. Sesaat ia tiba-tiba ingin membersihkan kamarnya, membuang komik, buku cerita, majalah lama yang ia miliki; hingga koleksi barang kecil sewaktu SD, seperti: penghapus, kartu dan pinsil. Berjam-jam berlalu, ia mendapatkan berkardus-kardus barang yang tak berguna.

Marie merasa pikirannya ringan, terang dan siap menerima hal-hal baru, termasuk menghadapi ujian tsb. Ia pun dapat menyelesaikan ujiannya dengan nilai memuaskan.

Beberapa tips Seni Bebersih yang di-share oleh Marie. Diantaranya:
  • Kebiasaan rapih tidak dilakukan dengan cara membersihkan barang sedikit demi sedikit, ruangan per ruangan. Namun dilakukan secara keseluruhan pada satu waktu.
  • Bebersih adalah seni “membuang” barang yang tidak digunakan, baru menyimpan barang.
  • Kategori barang yang dibersihkan diawali oleh baju, buku, barang-barang pajangan/ koleksi, dan diakhiri oleh barang kenangan.
  • Buanglah barang-barang yang tidak membuat kita happy atau tidak memiliki ikatan emosi.
  • Lakukan dialog dengan diri sendiri pada saat membersihkan barang. Bayangkan sebuah visi rumah/ ruangan seperti yang kita inginkan. Dan berhentilah membuang jika barang yang dibuang dirasa sudah sesuai kebutuhan.
  • Sadari lah barang yang “satu saat nanti”akan dipakai/ dibaca/ digunakan bukanlah barang yang layak dipertahankan.

Keenam tips tersebut rupanya merupakan hal yang menantang untuk dipraktikkan, mengingat rumah tinggal pada zaman modern ini semakin kecil, dengan daya tampung barang yang semakin sedikit. Apalagi jika dipraktikkan di negara Jepang yang notabene penduduknya gemar mengoleksi barang, hemat dan menyimpan barang-barang. Namun Marie bukanlah sosok yang pantang menyerah.
Beberapa kebiasaan di rumah yang menurutnya perlu dihindari agar sebuah rumah tetap rapi adalah:
1. Mulailah dari diri sendiri. Terkadang keinginan kita membersihkan kamar anggota keluarga lain ternyata bukan merupakan suatu solusi.
2. Tidak memberikan “barang bekas” kepada anggota sebagai”hadiah”.
3. Tidak mengajak anggota keluarga (terutama Ibu) pada saat membersihkan/ membuang barang.

Pesan utama gerakan bebersih atau minimalism sesungguhnya bukan berarti membuang seluruh barang anda, namun membantu memilah mana yang penting dan menimbulkan kebahagiaan, namun lebih dari itu, ia adalah jalan hidup.


Box: Gerakan Minimalism Suatu Gaya Hidup
Definisi minimalism adalah gaya atau teknik (desain, musik, sastra) yang mencirikan kelapangan dan kesederhanaan yang ekstrim. Dampak gaya hidup minimalis, menurut Joshua Fields Millburn &  Ryan Nicodemus, akan membantu Anda menemukan kebebasan dari rasa bersalah, perasaan lelah, depresi dan kecemasan.

Ditenggarai tuntutan standar hidup yang tinggi, yang kemudian mendorong masyarakat tidak pernah puas akan segala sesuatunya, mendorong seseorang berlomba-lomba membeli dan mengumpulkan barang. Gerakan minimalism kemudian mendobrak kelaziman yang berlaku di dalam masyarakat kebanyakan untuk kembali menemukan makna hidup, berorientasi pada tujuan dan menyingkirkan “hal-hal yang kurang substantif”, menebarkan nilai-nilai "living more deliberately with less."

Demikian juga dengan desain yang sederhana, memiliki tingkat fungsi yang tinggi, menyederhanakan hidup, dan pengakuan bahwa kepemilikan beberapa benda tsb berguna untuk hidup dalam keseharian yang akhirnya memercikkan kebahagiaan.

Kebahagiaan bukan ditunjukkan oleh seberapa banyak barang yang dimiliki, bukan pula sarana untuk menutupi ketidaknyamanan laiknya mengenakan makeup.  










(disarikan dari buku "The Life Changing Magic Of Tidying Up" dan sumber lainnya).